Selasa, 01 Juli 2014

Kebudayaan tradisional masyarakat Bali

Kebudayaan tradisional masyarakat BaliKebudayaan  tradisional masyarakat Bali sangat beragam dan erat dengan nilai religius agama Hindu. Karena mayoritas masyarakat Bali memeluk agama Hindu. Beberapa kebudayaan tradisional masih sangat dilestarikan dan dijaga karena masyarakat Bali sangat menghargai warisan para leluhurnya. Selain itu pengembangan kebudayaan tardisional juga turut serta meningkatkan potensi pariwisata di Bali dengan menawarkan wisata yang berbeda dari yang sudah ada. Berikut contoh kebudayaan masyarakat di Bali.

Kebudayaan tradisional masyarakat Bali

Tradisi Adat Makotek
Tradisi Adat Makotek
1.      Tradisi Adat Makotek / Ngrebek
Tradisi Adat Makotek adalah warisan budaya sejak jaman kejayaan kerajaan mengwi yg mempunyai wilayah sampai di Jawa Timur, ngrebeg dilaksanakan tiap 6 bulan sekali setiap saniscara wuku kuningan atau setiap sabtu bertepatan di Hari Raya Kuningan di desa Munggu Kecamatan Mengwi Badung Bali. Merupakan perayaan untuk memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi ketika perang melawan Kerajaan Blambangan dari Banyuwangi, Jawa Timur. Biasanya sebelum tradisi Makotek dimulai maka para peserta akan lebih dulu melakukan persembahyangan bersama di sebuah pura desa. Kemudian dipercikkan air.

Disebut Makotek lantaran berawal dari suara kayu-kayu yang saling bertabrakan ketika kayu-kayu tersebut disatukan menjadi bentuk gunung yang menyudut keatas. 
Dalam permainannya, ratusan kayu-kayu tersebut masing-masing dipegang oleh para laki-laki dengan cara menggabungkan kayu sepanjang 3,5 meter dari pohon pulet hingga membentuk kerucut. Kemudian salah satu dari pemuda yang merasa tertantang pun harus menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.

2.      Tradisi Perang Siat Sampian
Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali di Pura Samuan Tiga,sebelum tradisi ini dimulai, dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga mengelilingi areal pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka seperti burung gagak (goak). Prosesi ini diikuti oleh para permas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan dengan upacara Ngombak (gerakan ombak).

Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung mengambil sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya. Sampian itu merupakan lambang senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma (kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk mengenyahkan Adharma atau kejahatan dari muka bumi. 

0 komentar

Posting Komentar